Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

KH. Athian Ali M. Da`i, MA
Menyembunyikan Kebenaran
Oleh: K.H. Athian Ali M. Da’i, MA
 “Innal ladziina yaktumuuna maa anzalallaahu minal kitaabi wa yasytaruuna bihii tsamanan qaliilan ulaa-ika maa ya’kuluuna fii buthuunihim illaan naara wa laa yukallimuhumullaahu yaumal qiyaamati wa laa yuzakkiihim wa lahum ‘adzaabun aliim”
(Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang diturunkan Allah daripada Kitab dan mereka menukarnya dengan harga sedikit, mereka itu tidak memakan ke dalam perut mereka melainkan api, Allah tidak akan berbicara kepada mereka pada hari kiamat, dan tidak menyucikan mereka (dari dosa), dan bagi mereka azab yang sangat pedih)(Al Baqarah, 2:174)
Allah SWT menurunkan risalah Islam kepada manusia mulai dari Nabi Adam As. hingga Nabi Muhammad Saw. dalam bentuk kitab-kitab suci dan suhuf-suhuf. Semua risalah ini diturunkan tidak lain hanya untuk kemaslahatan manusia untuk membimbing manusia agar hidupnya senantiasa dalam ridha-Nya. Allah SWT sama sekali tidak punya kepentingan apakah risalahnya itu akan ditaati atau tidak, manusia diberi hak penuh untuk memilih mentaati atau mengkufuri.
Namun demikian, di awal ayat 174 surah Al Baqarah, Allah SWT memperingatkan: “Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang diturunkan Allah daripada Kitab dan menukarnya dengan harga yang murah”, peringatan ini mengisyaratkan kepada kita bahwa pasti akan ada manusia baik pada masa lalu, kini maupun pada masa mendatang pasti akan ada manusia yang berusaha menyembunyikan kebenaran yang datang dari Allah. Jika ada manusia yang benar-benar mencoba menyembunyikan kebenaran tersebut, maka alangkah luar biasa besarnya dosa manusia itu.
Kata, “Yaktumuuna” (Menyembunyikan) dalam arti sesuatu itu sudah ada terlebih dulu, lalu sesuatu itu dicoba disembunyikan, tentu dengan maksud agar orang lain tidak tahu tentang sesuatu itu. Dalam konteks ayat ini sesuatu tersebut adalah “Kebenaran yang datang dari Allah”. Ada sebuah kebenaran yang datang lalu disembunyikan, tidak disampaikan sebagaimana mestinya bahkan dengan sengaja ditutup-tutupi. Konotasi “Menyembunyikan” juga bisa diartikan ada sebuah rekayasa perlawanan, seolah-seolah yang datang bukan kebenaran yang dimaksud. Misalnya, yang datang kebenaran A tapi yang dimunculkan B sebagai sebuah rekayasa.
Jika kita perhatikan, di sepanjang zaman para rasul selalu dihadapkan dengan keberadaan manusia-manusia semacam ini, sehingga akhirnya tidak ada kitab suci sebelum Al Qur’an yang bisa dipertahankan kesuciannya, bisa karena disembunyikan dalam arti dihilangkan atau tidak disampaikan, atau jika tidak dihilangkan dan tidak disampaikan lalu diubah-ubah sesuai dengan hawa nafsu mereka. Maksud mereka bertindak demikian karena tidak menginginkan orang lain melaksanakan ajaran yang diturunkan Allah. Mereka sesat tapi tidak pula ingin sesat sendirian, sehingga mereka berupaya ingin juga sesat berjamaah. Oleh karenanya, ketika Allah SWT menurunkan Al Qur’an, Allah SWT tidak lagi menyerahkan kepada manusia untuk menjaganya (Al Hijr: 9), maka Al Qur’an dari mulai turun hingga kiamat nanti tetap dijamin kesuciannya.
Realitanya, kini, kebenaran yang datang dari Allah yang ada dalam Al Qur’an masih tetap ada, tapi sengaja disembunyikan dalam arti tidak disampaikan. Semua dengan mudah dapat memahami isi Al Qur’an, permasalahannya, orang-orang yang memahami ayat-ayat Al Qur’an itu tidak semuanya menyampaikan, disimpan dan dibiarkan sehingga seolah-olah tidak ada kebenaran dalam Al Qur’an. Ayat ini tentu sangat relefan dengan kondisi yang ada di negeri kita, sebagian dari para pendakwah tidak menyampaikan nilai-nilai kebenaran yang ada dalam Al Qur’an, apalagi dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara nyaris kebenaran Al Qur’an tersembunyi terus.
Hal ini sebenarnya tidak ada bedanya denga orang-orang terdahulu, dalam arti mereka tidak bisa menghilangkan Al Qur’an, tapi mereka tidak mengungkap ayat-ayat Al Qur’an, mengangkat kebenaran-kenenaran yang boleh jadi bertentangan dengan kebathilan yang sedang dinikmati oleh mereka yang berkuasa. Mereka mencoba menutupi kebenaran ayat-ayat Al Qur’an lewat bahasa-bahasa ciptaan akal mereka. Mereka bungkus bahasa-bahasa verbal mereka dengan menyatakan bahwa Al Qur’an sudah tidak relefan untuk kehidupan masa kini. Hukum potong tangan bagi pencuri, qishash bagi pembunuh, rajam atau cambuk bagi pezina adalah bertentangan dengan Hak-Hak Azasi Manusia.
Nyaris, kita tidak mendengar lagi dakwah tentang hukum potong tangan, qishah, rajam atau cambuk, jarang kita mendengar dakwah tentang wajibnya seorang muslim menegakkan syariat Islam dalam kehidupan, seperti halnya mendakwahkan wajibnya melaksanakan shalat dalam kehidupan padahal shalat hanya merupakan bagian dari syariat Islam. Disadari atau tidak, para ulama atau para kiai, telah menyembunyikan apa yang Allah turunkan. Mungkin sudah tidak ada yang mau membahas lagi perihal ayat-ayat jihad, karena takut dituduh teroris, radikal dan lain sebagainya.
Bagi seorang mu’min sudah seharusnya memiliki keyakinan bahwa kebenaran mutlak hanya datang dari Allah, kebenaran yang sudah tidak bisa didiskusikan atau ditinjau kembali baik dimengerti atau pun tidak dimengerti oleh akal fikiran kita. Sedangkan kebenaran yang disampaikan oleh manusia masih perlu kita kritisi, sehingga kalau kita dihadapkan kebenaran dari manusia yang nyata-nyata bertentangan dengan kebenaran mutlak yang datang dari Allah, pasti salah.
Dalam lanjutan ayat dinyatakan, “Dan mereka menukarnya dengan harga yang murah”. Allh SWT Mahatahu apa yang menjadi tujuan mereka menyembunyikan kebenaran tersebut, mereka menyembunyikan kebenaran untuk membeli sesuatu dengan harga yang murah, yakni kenikmatan dunia. Allah SWT menyatakan, bahwa dengan mengorbankan kenikmatan akhirat demi kepentingan dunia adalah sesuatu yang sangat murah dan hina. Padahal, kenikmatan dunia jika bisa dia miliki seluruhnya itu masih tergolong harga murah kalau dibandingkan dengan kebenaran ilahi yang tak ternilai harganya.
Dalam lanjutan ayat dinyatakan, paling tidak, ada “empat” ancaman bagi orang-orang menyembunyikan kebenaran yang datang dari Allah dan menjualnya dengan harga yang murah. Pertama, tindakan mereka tersebut tak ubahnya dengan menyiapkan bara api neraka sepenuh perut mereka. Dengan kata lain, Allah mengancam mereka akan menjadi penghuni neraka Jahannam. Kedua, Allah tidak akan berbicara kepada mereka pada hari kiamat. Jika kita analogikan dengan seseorang yang tidak mau berbicara dengan orang lain, artinya yang bersangkutan dalam kondisi sedang marah atau kesal terhadap pihak lainnya. Tidak mungkin seseorang mumutuskan komunikasi dengan  tidak mau bicara kecuali dia sedang marah. Gambaran ini tentu lebih sangat terasa jika Allah SWT telah mengancam bahwa nanti di akhirat Allah tidak akan berbicara sama sekali, hal ini tentu menggambarkan kemurkaan Allah yang sangat luar biasa terhadap mereka yang menyembunyikan kebenaran Ilahi. Ketiga, Allah SWT tidak akan pernah mensucikan mereka dari kekufuran dan dosa yang mereka perbuat. Keempat, bagi mereka siksa yang teramat pedih.
Dalam sebuah hadits dinyatakan, ada tiga kelompok manusia yang tidak akan pernah diajak berbicara oleh Allah di hari kiamat dan tidak akan disucikan dari kekufuran dan dosa mereka, dan Allah tidak akan pernah melihat mereka, mereka juga akan mendapat siksa yang teramat pedih. Ketiga kelompok tersebuat adalah, “Manula” yang gemar berzina, penguasa yang suka berdusta, dan keluarga yang sombong yang tidak mau minta tolong kepada yang lain.
Berbicara kondisi orang-orang kafir nanti di akhirat, Allah SWT berfirman: “Mereka berkata: “Ya Tuhan kami, kejahatan kami telah mengalahkan diri kami dan kami adalah kaum yang sesat. Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami daripadanya, maka jika kami kembali (kepada kekafiran) sesungguhnya kami adalah orang yang zalim. Allah berfirman: “Terhinalah kamu di dalamnya. Dan janganlah kamu berkata-kata kepada-Ku” (QS. Al Mu’minuun, 23:106-108). Terlepas dari kalimat terakhir yang ada dalam ayat dimana Allah SWT menyatakan: “Dan janganlah kamu berkata-kata kepada-Ku”, artinya sempat terjadi dialog antara Allah dengan orang-orang kafir. Para ahli tafsir mengatakan, bahwa yang dimaksud dalam ayat 174 surah Al Baqarah bahwa Allah tidak akan mau berbicara dengan mereka dalam rangka menyenangkan hati mereka. Tapi jika Allah berbicara sekaligus mengecam, hal itu bahkan membuat mereka semakin menderita.
Perbedaan mencolok akan bisa kita lihat jika kita simak ayat 17-18 surah Thaahaa: “Dan apakah yang ada di tangan kananmu wahai Musa? Musa berkata: “Ini adalah tongkatku; aku bertelekan padanya dan dengannya aku menggugurkan (daun kayu) untuk kambingku, dan bagiku ada keperluan lain padanya”. Gambaran dialog pada ayat ini adalah gambaran dialog kasih sayang, karena Allah SWT pasti Mahatahu akan apa yang ada di tangan Nabi Musa As, dan untuk apa maslahat tongkat tersebut. Numun pertanyaan Allah dengan jawaban yang rinci dari Nabi Musa As hanyalah semata-mata dialog yang dibangun untuk menjalin hubungan kasih sayang antara Allah SWT sebagai Al Khalik dengan Nabi Musa As sebagai makhluk.
Wallahu a’lam bish-shawab.
(Dikirim oleh: Tardjono Abu Muas) http://new.drisalah.com/