Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Dakwah Karena-Nya atau karenanya?

Deddy SussanthoDakwah Karena-Nya atau Karenanya?

22/3/2012 | 29 Rabbi al-Thanni 1433 H | Hits: 1.063
Oleh: Deddy Sussantho

Kirim Print

Ilustrasi (inet)
dakwatuna.com – Saudaraku, bersabarlah. Terpaan dan dinamika yang kita rasakan merupakan bagian dari manisnya perjuangan. Karena kita tidak akan tahu betapa mahalnya rasa manis, tanpa sebelumnya mengenal apa itu rasa pahit. Betapapun terpaan dan dinamika itu berasal dari saudara kita sendiri. Atau bahkan dari diri kita sendiri.

Pada dasarnya, kita memang harus memahami bahwa gerbong dakwah ini tidak hanya diisi oleh kalangan kita sendiri. Laiknya gerbong kereta, yang isinya tidak hanya dari kalangan eksekutif semata, tetapi ada juga dari rakyat biasa, pengamen, atau bahkan pencuri. Untuk itu, tidak semestinya kita mengeluh terhadap hal itu. Apalagi menghardik keberadaan mereka. Sebaliknya, seharusnya kita lebih membuka mata dan hati kita, menjadikannya kesempatan untuk lebih mengenal tempat di mana posisi kita berada.

Seperti itulah kenyataannya, Saudaraku. Kita tidak sendiri. Ada harakah dan wajihah selain kita. Mereka berbeda, tapi memiliki tujuan yang sama, yaitu Allah SWT. Jika harakah adalah jalan, maka wajihah adalah kendaraannya. Kita harus menyadari, bahwa untuk sampai suatu tujuan itu tidak mesti melalui jalan yang sama dan kendaraan yang sama. Ibarat mau ke Blok M, kita bisa melewati Pondok Indah, Pondok Labu, Pondok Cabe, atau Pondok Pinang. Semua jalan itu sah-sah saja, selama tujuannya sama. Perbedaan dalam memilih jalan hanyalah karena sudut pandang yang berbeda dalam melihat jalan yang efektif untuk mencapai tujuan dakwah. Sementara dalam satu jalan tersebut, kita bisa saja memilih kendaraan apa saja yang sekiranya cocok dengan kita.

Saudaraku, kita tidak mesti dalam satu kendaraan. Karena boleh jadi ‘kendaraan-kendaraan’ lain itu mengisi kekosongan tempat yang mungkin belum kita lalui. Lihatlah, betapa banyak kendaraan itu. Mereka memiliki karakter dan sifatnya masing-masing. Itu sebabnya tidak selayaknya kita menilai mereka dengan kacamata jumawa, seolah hanya kendaraan kita yang benar. Cobalah perhatikan, mereka sama-sama mempunyai keunggulan yang tidak bisa kita banding-bandingkan antara satu dengan yang lain.

Meski menempuh jalan dan dengan kendaraan berbeda, mereka adalah saudara kita selama aqidah kita sama, aqidah Islam. Mereka juga bagian dari kita selama fikrah kita sama, fikrah Islam. Mereka tetap kelompok kita selama manhaj kita sama, manhaj Islam. Yang tidak sepatutnya adalah ketika kita menjadikan ‘jalan’ dan ‘kendaraan’ tersebut sebagai tujuan dan alasan dalam berdakwah.
Bersabarlah, Saudaraku. Perbedaan itu adalah hal yang wajar, selama spirit pergerakan ini tidak terbungkus kesombongan dan ashobiyah, melainkan ketulusan untuk fastabiqul khoirots. Sehingga antara wajihah atau harakah, dengan kelebihannya masing-masing, memacu laju dakwahnya guna memberikan yang terbaik untuk-Nya. Kita berjalan beriringan, saling menguatkan. Sungguh, keberagaman yang membuat dakwah ini semakin indah, bukan?

Namun, ada kalanya suhu kita tidak sama. Perbedaan menyikapi persatuan menjadi awal keretakan kita. Kemudian berlanjut menjadi fenomena yang menyedihkan, seperti rebutan kader, saling menjelek-jelekkan wajihah atau harakah lain, sambil membanggakan atribut-atribut keorganisasian masing-masing. Padahal di satu sisi, kita mengaku kader dakwah. Kalau sudah begini, mari telisik kembali orientasi dakwah kita: karena-Nya atau karenanya yang lain? Miris. Kekeliruan-kekeliruan itu seperti menunjukkan bahwa kita orang baru dalam dakwah ini.

Bersabarlah, Saudaraku. Beginilah yang terjadi jika orientasi perjuangan kita ditempatkan pada posisi yang salah. Laiknya berlayar, namun menggunakan kompas yang salah. Pada akhirnya gerak dakwah kita hanya buang-buang tenaga, pikiran, dan waktu. Lelah jadinya. Tidak ada ketenangan dan keberkahan. Salah menyikapi variasi dakwah terjadi. Lalu debat kusir di mana-mana. Hati pun semakin keras, sulit menerima pendapat. Ada pun fanatisme golongan membuat kita merasa wajihah atau harakah kita paling baik. Dan lain sebagainya. Ketika itu, tanpa kita sadari, kita tengah berjalan menuju jurang kehancuran,

Saudaraku. Tak heran, fenomena ini dirangkum Fathi Yakan dalam sebuah buku “Robohnya Dakwah di Tangan Da’i”.
Sekali lagi bersabarlah, Saudaraku. Jangan terburu-buru menilai, menghakimi, atau mengomentari pihak lain.  Sementara masih banyak yang harus kita pahami, soal harakah, dakwah, tarbiyah, dan ukhuwah. Tidakkah kita mengingat pesan Mustafa Masyhur dalam buku Thariqud Da’wah, bahwa tugas kita adalah menyeru, bukan menilai. Karena soal penilaian itu bukan urusan kita lagi, tapi merupakan ranah Allah Yang Maha Sempurna.

Saudaraku, bersabarlah. Mari kita belajar persatuan dari sekawanan semut. Meski dunia memandang mereka kecil, namun mereka tak pernah mengecilkan dunia. Sebab itulah mereka bersatu, sehingga mereka dapat ‘besar’ tanpa harus menjadi besar. Kuatnya mereka bukan lantaran otot kekar, yang tercipta dari upaya angkat-angkat materi, bukan pula hasil berjalan ke sana ke mari, melainkan karena kokohnya silaturahim. Gugusan mereka merupakan bukti nyata, bahwa mereka saling menjaga, saling percaya, saling merasa, saling peduli, saling mengerti.

Saudaraku, kesunyian akan mengebiri kala kita sendiri. Kedamaian akan membusuk apabila kita saling menusuk. Sementara, cinta akan sirna jika tak saling dewasa. Saudaraku, mari merajut langkah seperti semut. Mereka berjalan dalam persatuan, yang terlahir bukan atas dasar penyatuan, tapi persatuan yang terjalin melalui kesatuan. Mereka beriring, bukan tergiring.
Allahu a’lam…

Keyword: , , , ,